Art & Culture

5 Bentuk Kesadaran Lingkungan di Dunia Penerbitan

Tidak hanya penerbit yang punya andil untuk menentukan seberapa ramah lingkungan sebuah buku, pekerja kreatif seperti desainer dan pengatur tata letak juga punya andil untuk menentukan jejak karbon buku.

Written by
Vania Evan
Published
June 18, 2023

Dulu, mempunyai buku untuk dibaca merupakan suatu kemewahan. Sebelum mesin percetakan ditemukan pada tahun 1436, kalimat per kalimat beserta ilustrasi pelengkap dalam buku ditorehkan ke kertas satu per satu dengan tangan, baru kemudian dijilid bersamaan dengan lembaran kayu yang menjadi sampul buku. Proses pembuatan buku yang panjang tersebut membuat harga buku menjadi sangat mahal dan menjadikannya komoditas eksklusif yang hanya dapat diakses kaum elit.

Berbeda dengan saat ini. Buku dicetak secara massal dan dijual bebas di toko-toko buku, bahkan sering kali dalam kuantitas berlebih hingga akhirnya mereka menumpuk di pojok obral. Sebagai orang yang hobi membeli dan membaca buku (yup, menurut saya, ada perbedaan di antara keduanya) serta menjadikan buku sebagai sarana eskapisme juga belajar ini dan itu, saya sangat mensyukuri hadirnya mesin cetak yang mendemokratisasi pengetahuan. 

Di lain sisi, industri penerbitan merupakan industri yang intensif sumber daya. Produksi kertas berkontribusi dalam memperparah deforestasi, mengingat 93% bahan kertas bersumber dari serat kayu. Belum lagi menghitung kucuran air yang diperlukan sampai kertas siap digunakan. Selembar kertas A4 butuh setidaknya 2-13 liter air, menurut estimasi UNESCO-IHE Institute for Water Education. Itu baru bicara kertas, belum menjadi buku yang butuh kerja mesin cetak dalam proses pembuatan serta pendisitribusiannya yang mengeluarkan emisi karbon tambahan. 

Lantas apakah saya perlu berhenti membaca buku dan mencari hobi baru atas nama kepedulian terhadap lingkungan? Tentu tidak, mengingat apapun aktivitas kita di muka bumi ini tidak akan bisa dipisahkan dari dampaknya terhadap lingkungan, termasuk membaca buku.

Meski begitu, selalu ada cara yang lebih baik untuk mengurangi beban yang harus dipikul lingkungan untuk pengadaan buku. Simak beberapa bentuk kesadaran lingkungan yang dapat diambil industri penerbitan berikut.

Sertifikasi Forest Stewardship Council

Sumber: Forest Stewardship Council

Pernah melihat label bergambar pohon bertuliskan FSC di sampul belakang buku? Label tersebut dikeluarkan oleh lembaga nonprofit internasional yaitu Forest Stewardship Council yang memiliki agenda untuk mempromosikan pengelolaan hutan yang bertanggung jawab dan terstandarisasi dari segi lingkungan, sosial, serta ekonomi lewat pemberian sertifikasi.

Jika label FSC terpampang di buku yang kamu pegang, artinya buku tersebut memanfaatkan hasil hutan yang dikelola secara bertanggung jawab. FSC sendiri mendefinisikan "pengelolaan hutan yang bertanggung jawab" dalam 10 prinsip di antaranya yaitu tunduk pada regulasi, konvensi, maupun persetujuan yang berlaku di area setempat, meningkatkan kesejahteraan sosial dan ekonomi pekerja, menjunjung hak kepemilikan dari masyarakat adat, berkontribusi meningkatkan kesejahteraan komunitas lokal, dan 6 prinsip lainnya.

Proses mendapatkan sertifikasi FSC pun tidak mudah maupun murah. Perusahaan harus mendaftar ke lembaga sertifikasi untuk diaudit dengan biaya ratusan juta. Sertifikasi ini juga memiliki masa berlaku 5 tahun, sehingga perusahaan yang sudah mengantongi sertifikasinya perlu diaudit lagi jika masa berlaku sudah habis.

Dengan skema proses pemberian sertifikasi FSC yang tidak mudah didapatkan, kita sebagai konsumen dapat melihat keseriusan perusahaan dalam menjaga lingkungan. Kertas memang dapat didaur ulang karena terbuat dari material organik yaitu kayu pohon, namun bicara soal keberlanjutan bukan hanya bicara apakah suatu produk dapat didaur ulang atau terurai secara hayati. 

Aspek keberlanjutan juga perlu tercermin dari hulu, yaitu bahan baku yang dipakai, pemrosesan material, pembuatan produk, pendistribusian ke tangan konsumen, pemakaian, baru ketika produk tersebut sudah tidak bisa digunakan lagi dan menjadi sampah.

Kertas dari bahan selain kayu

Kembali ke fakta bahwa beban pembuatan kertas bagi lingkungan bukan soal limbahnya namun soal pembuatan materialnya, lahirlah inovasi pembuatan kertas dari bahan nonkayu.

Komposisi material untuk membuat kertas hanya terdiri dari bubur kertas atau pulp ditambah air. Menurut Bluecat Paper, produsen kertas dari bahan nonkayu di India, material apapun yang terdiri dari 68% selulosa dapat diolah menjadi pulp, termasuk limbah tekstil, serat pisang, dan kulit biji kopi. Per 2020, Bluecat Paper dapat mengurangi penggunaan 30 ton kayu per bulan dan 30 ribu air per hari. 

Beberapa material nonkayu yang dapat diolah menjadi pulp misalnya bambu, ampas tebu, jerami, batang tanaman kapas, dan tanaman lain penghasil serat batang dan daun.

Kertas bertekstur tanpa pemutih

Sudah terlalu lama kertas terasosiasi dengan warna putih bersih seputih salju dan mempunyai permukaan yang sangat halus. Mempertimbangkan proses pembuatan kertas, kualitas-kualitas yang kita anggap normal pada sebuah kertas jadi mudah dipertanyakan. Bukankah bahan baku kertas adalah kayu pohon yang berwarna coklat? Lalu bukankah kayu tersebut diolah menjadi bubur kertas yang bertekstur?

Artinya, ada proses pemutihan yang terjadi hingga kertas menjadi putih yang selama ini kita kenal. Proses pemutihan ini melibatkan zat klorin yang mencemari air, sehingga air tidak dapat dipergunakan ulang untuk proses pembuatan kertas berikutnya, serta akan berpengaruh pada ekosistem air serta manusia yang membutuhkan air dalam kesehariannya. 

Penggunaan tinta organik

Selain bahan baku dan proses pengolahan kertas, pilihan tinta juga berpengaruh terhadap lingkungan. Tinta terbuat dari pigmen warna yang merupakan zat kimia, minyak yang tidak dapat tercampur dengan air, dan pernis yang sedikit lebih baik dari dua bahan lainnya karena merupakan produk turunan dari tumbuhan. Tinta juga mengandung volatile organic compound (VOC), senyawa kimia yang mudah menguap dan bereaksi ketika terpapar dengan sinar matahari dan lagi-lagi mencemari lingkungan.

Selain tintanya itu sendiri, tempat penampungan tinta pada printer atau cartridge juga terbuat dari besi yang tidak dapat didaur ulang. Meski cartridge dapat digunakan ulang untuk mengurangi sampah, jika cartridge dibuang ke tempat pembuangan akhir akan mencemari tanah dan juga air. 

Namun ada tinta yang dibuat dari bahan organik seperti tinta dari kacang kedelai. Tinta ini berasal dari material yang terbarukan dan juga lebih tidak mencemari lingkungan, namun juga menghasilkan gambar atau tulisan yang lebih tajam dibandingkan dengan tinta-tinta lain.

Pada saat artikel ini ditulis, tinta kacang kedelai juga sudah mulai banyak digunakan oleh brand-brand kecantikan lokal dalam menuliskan nama produk, klaim manfaat produk, serta tulisan lain di kemasan makeup maupun skincare. 

Metode distribusi prapesan atau pre-order

Untuk menekan biaya produksi, buku seringkali diproduksi dalam jumlah banyak tanpa mengetahui apakah buku tersebut laku terjual di pasaran. Beberapa pabrik pun memiliki standar kuantitas minimum produksi dan menolak mencetak buku dalam jumlah sedikit. 

Metode produksi buku seperti ini adalah permainan spekulasi, namun permintaan pasar seringkali tidak bisa ditebak, terutama penulis-penulis baru yang belum tergambar antusiasme pasarnya.

Model distribusi prapesan atau preorder selain mengurangi produksi berlebih yang akhirnya membuat buku menumpuk di gudang atau tempat pembuangan akhir juga lebih menguntungkan secara ekonomis, karena penerbit tidak perlu menalangi biaya produksi di awal, melainkan langsung dapat menggunakan uang prapesan yang telah dibayar pembaca. 

Desain buku

Sumber: Centre de Cultura Contèmporania de Barcelona (CCCB) Lab

Desain sebuah buku menentukan kadar keramahlingkungan sebuah buku. Kok bisa? Mengacu pada grafis jejak karbon buku di atas, 9,6% jejak karbon buku ditentukan oleh desainnya.

Semakin besar sebuah buku, semakin banyak sumber daya yang diperlukan, dan semakin besar ruang yang dibutuhkan buku tersebut dalam proses pengiriman sehingga akan berdampak pada keluaran emisi karbonnya. Misalnya, satu truk punya kapasitas untuk mengantarkan 10 ribu buku ukuran sedan dalam satu sekali jalan. Emisi karbon dalam satu kali perjalanan kemudian dapat dibagi 10 ribu untuk mengetahui emisi karbon satuan buku. Jika lebih sedikit buku yang dapat diantarkan oleh truk dalam satu kali jalan, tentu pembaginya lebih sedikit dan membuat emisi karbon satuan buku lebih tinggi.

Dalam industri penerbitan hari ini, sudah ada standar ukuran buku versi lebih kecil  yang dikenal dengan mass-market paperback. Ukuran mass-market paperback awalnya dibuat untuk menyiasati tingginya harga produksi, namun secara praktikal juga lebih mudah disimpan dan dibawa bepergian, juga lebih ramah terhadap lingkungan.