Menilik pesan dalam produk budaya ikonik Barbie The Movie (2023) dan intensi yang ada di baliknya. Bagaimana kita perlu merespon? Spoiler: Kami tidak anti Barbie, justru sebaliknya.
Ada satu keinginan saya waktu kecil yang belum juga terpenuhi sampai sekarang, yaitu punya boneka Barbie, setidaknya satu saja. Dua puluh tahun kemudian setelah sudah bisa cari uang sendiri, saya sudah lupa kalau dulu ingin sekali punya boneka Barbie, sampai film Barbie (2023) yang disutradarai Greta Gerwig hadir di bioskop. Dorongan untuk memenuhi cita-cita masa kecil yang belum tergapai dulu pun muncul lagi karena film ini. Siapa yang merasakan hal yang sama?
Tidak hanya saya atau mungkin kamu juga, ada kemungkinan anak-anak yang diperkenalkan kembali dengan Barbie dari film ini jadi punya wishlist baru, yaitu punya boneka Barbie, Ken, atau mobil kap terbuka warna pink pastel persis seperti yang karakter Barbie (Margot Robbie) punya di film. Perusahaan induk Barbie Mattel tentu sudah memikirkan ini. Kini Barbie punya lini yang terinspirasi dari Barbie The Movie.
Kalau berkaca dari The Mandalorian (2020) yang berdampak pada habisnya mainan Baby Yoda dimana-mana tidak lama setelah musim pertamanya rilis, akankah penjualan Barbie juga terdongkrak dari filmnya? Apakah film yang menyelipkan kritik akan kapitalisme dalam tayangannya justru malah memperparah konsumerisme?
Penjualan Barbie sebelum dan setelah Barbie The Movie
Umur Barbie, kalau dihitung dari tahun pertama kali ia dicetuskan oleh Ruth Handler (1916-2002) pada tahun 1959 sudah menyentuh 64 tahun ketika artikel ini ditulis. Ia sempat ramai-ramai dikritik karena membentuk standar kecantikan baku yang tidak realistis: bentuk badan ramping, kulit putih, dan rambut pirang.
Ketidakpuasan pasar akan Barbie dengan proporsi tubuh yang kelewat sempurna itu juga terefleksi dari penjualan mereka yang turun 20 persen dari 2012 sampai 2014. Selama dua tahun dari 2014, Barbie mengembangkan Project Dawn yang berhasil rilis di tahun 2016. Sejak saat itu, Barbie punya variasi 7 warna kulit, 24 gaya rambut, 22 warna mata, dan 3 bentuk tubuh yang berbeda.
Berkat respon ini, terpantau ada kenaikan penjualan sebanyak 12 persen pada kuartal terakhir 2018 yang menurut global general manager Barbie Lisa McKnight disumbangkan dari langkah Mattel memproduksi boneka yang lebih beragam itu tadi. Setelah mengalami peningkatan penjualan dari Project Dawn, dugaan saya, Barbie The Movie jadi pemantik lonjakan penjualan lagi, meski awalnya saya juga sangsi karena saya pikir, anak-anak sudah mulai meninggalkan mainan dalam arti konvensional dan mulai menemukan hiburan dari tontonan atau game.
Data menunjukkan kalau keraguan saya akan minat pasar terhadap Barbie, salah. Kalau dari data eBay, penjualan seri Barbie Signature bahkan naik 900% dari 2021 ke 2022 yang bersamaan dengan gencarnya promosi Barbie The Movie seperti yang disampaikan wakil pemimpin divisi global collectibles di eBay Gene Cook kepada USA Today. Banyak juga yang jadi melirik Barbie, meski tidak sampai membeli. Setelah trailer Barbie The Movie rilis, kata kunci "Barbie Dream Pool" dan "Barbie convertible" dicari lebih banyak di eBay hingga 10% dibanding minggu sebelumnya. Itu baru di satu platform saja, belum mencakup platform-platform lain dan juga pembelian langsung di toko fisik di seluruh dunia.
Setelah melihat kesuksesan Barbie The Movie, Mattel kabarnya juga ingin merilis semesta sinematik Mattel seperti yang dilakukan Marvel. Mattel kabarnya tengah mempersiapkan film yang mengangkat franchise lain di bawah perusahaan mereka, seperti Barney, Polly Pocket, Hot Wheels, dan masih banyak lainnya.
Apakah pesan di dalamnya hanya performatif?
Dalam film berdurasi 114 menit itu, terselip banyak pesan-pesan soal patriarki dan sedikit tentang kapitalisme. Ketika kabar bahwa Barbie dan Ken sampai di dunia nyata dan tidak lagi di dunia fiktif mereka Barbie Land, keputusan yang diambil para petinggi Mattel sepenuhnya didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan bisnis.
Ironisnya, meski menyentil isu kapitalisme, film Barbie justru bisa jadi media untuk melanggengkan konsumerisme. Pembuatan boneka Barbie edisi film jadi contohnya. Belum lagi jumlah kolaborasi yang terjadi antara film Barbie dengan brand-brand internasional multisektor yang jumlahnya telah mencapai lebih dari 100. Ada brand-brand fesyen seperti Zara dan Crocs, ada juga Xbox serta brand makanan seperti Burger King.
Memang sih, pembuat film dan Mattel sejatinya adalah dua entitas yang berbeda. Tim pembuat film bisa saja hanya fokus mengemas karya film ini agar dapat dinikmati oleh banyak orang. Agenda untuk memproduksi lini boneka baru khusus film mungkin berasal dari Mattel, meski kita tidak sepenuhnya tau kesepakatan yang terjadi di balik layar.
Sebenarnya wajar saja jika ada agenda mengeruk keuntungan dari suatu produk budaya, bagaimanapun ia juga produk dalam arti ekonomi sebenar-benarnya, yang juga dijual ke pasar. Namun yang perlu dikritisi adalah ketika suatu film menyampaikan pesan tertentu demi menjadi relevan bagi masyarakat yang semakin melek dengan isu-isu sosial namun justru melakukan hal yang sepenuhnya berkebalikan tanpa menggugat sistem yang sudah ada.
Ketika dihadapkan dengan produk budaya yang signifikan dalam kultur kita seperti Barbie, atau karakter, film, dan cerita lain yang punya kedekatan personal dengan kita, perlu ada keseimbangan antara keinginan kita untuk menikmatinya dengan kepedulian kita terhadap lingkungan. Tidak ada salahnya membeli barang-barang untuk dikoleksi, asalkan kita yakin bahwa barang-barang tersebut bisa kita rawat untuk waktu yang lama dan tidak berakhir di tempat pembuangan akhir dalam waktu sepuluh atau lima belas hari.
Impuls untuk mengejar kepuasan-kepuasan kilat dari mengikuti tren-tren mikro seperti membeli atribut serba pink cuma buat dipakai sekali demi menonton Barbie memang menggoda, tetapi ketika kita berhasil mengesampingkannya demi kebaikan yang lebih panjang umurnya, bukankah rasanya jauh lebih memuaskan?