Life

Apakah Tren Konten 'De-influencing' dapat Membantu Mengurangi Konsumsi Berlebihan?

Sering tergoda membeli barang yang nggak butuh-butuh amat karena konten influencer? Sekilas, tren konten de-influencing terlihat sebagai solusinya, tapi realitanya lebih pelik dari itu.

Written by
Vania Evan
Published
June 18, 2023

Pernah membeli suatu barang karena barang tersebut banyak diulas di internet? Saya sih pernah, bahkan sering. Sudah sekian lama, mayoritas ulasan-ulasan yang beredar di internet, baik itu yang diunggah influencer atau orang biasa, punya satu pola: Rata-rata bersifat ajakan untuk membeli produk tertentu, lengkap dengan alasan mengapa produk tersebut layak, perlu, dan wajib dimiliki. Namun di awal tahun 2023, muncul tren baru yang melawan arus influencer culture yaitu de-influencing, yang justru mengulas produk-produk yang sebaiknya tidak perlu dibeli.

Sebuah video singkat di TikTok, yang pada saat artikel ini ditulis telah disukai oleh lebih dari 59 ribu orang, secara terang-terangan menyebut: "Saya di sini mencoba de-influence Anda. Jangan beli Ugg Mini. Jangan beli Dyson Airwrap. Jangan beli Charlotte Tilbury Wand. Jangan beli buku-bukunya Colleen Hoover. Jangan beli AirPods Pro Max." Belum familiar dengan barang-barang di atas? Semuanya sangat beken di internet, dan rata-rata akan membuatmu merogoh kocek yang agak dalam untuk memiliki mereka. 

Sekilas, konten-konten de-influence menyiratkan audiensnya untuk lebih bijaksana dalam bertransaksi. Di tengah gempuran iklan yang langsung muncul di layar ponselmu sesaat setelah kamu membicarakan suatu produk dengan temanmu, unggahan influencer yang mempromosikan produk rilisan terbaru dari jenama tertentu, hingga program afiliasi dari platform lokapasar yang memberi insentif jika kamu berhasil mengajak orang lain untuk belanja, tren de-influence jadi angin segar untuk membantu melepas cengkraman erat kapitalisme yang termanifestasi dalam kultur kita yang ketagihan belanja berlebihan.

Coba kita asumsikan bahwa konten-konten de-influence yang berseliweran di Instagram, TikTok, dan YouTube benar-benar dapat menekan hasrat orang-orang untuk belanja. Dampaknya tidak hanya dapat dirasakan oleh individu yang dapat mengalokasikan anggaran untuk belanja ke pos-pos pengeluaran lain. Beban yang dipikul bumi kita untuk memproduksi dan mendistribusi barang-barang juga jauh berkurang. Kalau begitu, apakah tren de-influence dapat jadi penangkal konsumsi berlebih yang mujarab?

De-influence tetap menginfluens 

Pada permukaan, konten-konten de-influencing terlihat bermanfaat. Alih-alih harus mengeluarkan kocek yang dalam untuk memiliki suatu produk, kita dapat mengetahui seluk beluk suatu produk, baru memutuskan apakah produk tersebut memang layak dibeli. 

Selain soal uang, beberapa barang membutuhkan investasi lain yang tidak kalah bernilai. Misalnya, pemilik kulit sensitif yang harus mempertaruhkan kondisi kulitnya dalam mencoba produk skincare yang belum pernah ia coba sebelumnya. Atau investasi dalam bentuk waktu ketika seseorang memutuskan untuk membaca buku yang sedang tren. Dapat dikatakan, konten de-influencing mengurangi variabel-variabel yang kita pertaruhkan dalam memiliki dan menggunakan suatu barang.

Masalahnya, tren de-influence ini sering ditunggangi untuk merekomendasikan produk-produk alternatif dengan kualitas serupa namun dengan harga yang lebih murah. Kamu mungkin mengenalnya dengan sebutan dupe yang merupakan kependekan dari duplicates, atau duplikat. Bukankah secara esensi artinya konten-konten de-influencing yang demikian juga sedang menginfluens penontonnya untuk membeli barang juga?

Jika ada konten de-influencing yang tidak membandingkan satu produk dengan produk lain yang lebih murah juga tetap menekankan bahwa ada segelintir orang-orang yang punya kuasa untuk menggiring keputusan konsumsi orang banyak, yaitu mereka yang punya online presence yang kuat. Seperti yang kita tahu, ada banyak pesan-pesan sponsor berbayar yang terselip di balik konten-konten mereka. 

Apakah saya harus anti dengan influencer? 

Influencer, atau yang sering juga disebut dengan Key Opinion Leader (KOL) kini merupakan bagian penting dari dunia pemasaran. Perusahaan konsultan manajemen dunia McKinsey & Company dalam artikel jurnal berjudul The consumer decision journey mengklasifikasikan beberapa tahap yang terjadi dalam keputusan konsumen dalam membeli suatu produk maupun jasa. 

Sebelum menjadi konsumen, target pasar perlu melewati tahap awareness atau kesadaran akan guna dan pentingnya suatu produk bagi mereka. Lalu ada tahap familiarity atau keterbiasaan, dimana pasar mulai terbiasa melihat suatu produk atau jasa baik itu lewat media iklan atau di rak toko. 

Setelah sudah "akrab" dengan suatu produk maupun perusahaan yang memproduksinya, konsumen akan melewati tahap consideration atau pertimbangan, baru akhirnya terjadi pembelian. Setelah membeli suatu produk atau jasa, jika konsumen tersebut puas, tahap paling terakhir adalah loyalty atau kesetiaan. Konsumen yang sudah loyal cenderung akan melakukan pembelian ulang atau bahkan merekomendasikan suatu produk atau layanan ke orang terdekat. 

Sumber: McKinsey & Company

Dari corong ini, McKinsey & Company melihat bahwa influencer berperan di tahap awareness, familiarity, consideration, hingga purchase untuk memasarkan suatu produk atau jasa di ranah digital. Laporan We Are Social: Indonesian Digital Report 2022 yang dikeluarkan platform manajemen media sosial Hootsuite, mencatat ada 191,4 juta pengguna media sosial aktif di Indonesia atau sekitar 57% dari total populasi penduduk Indonesia yaitu 277,7 juta orang per Januari 2022. 

Tak heran, bahwa media sosial jadi platform pemasaran andalan bagi para pengiklan. Kalau kamu aktif berseluncur di media sosial seharian, tentu juga akan sangat sulit menghindari konten-konten influencer beserta kampanye-kampanye produk atau jasa yang mereka unggah. Influencer memang menyuburkan konsumerisme, tapi mereka bukanlah satu-satunya pihak yang mengakselerasi keinginan orang untuk bertransaksi. Juga ada peran pemerintah sebagai pihak yang membentuk dan mengeksekusi regulasi, serta korporasi-korporasi yang terus-terusan memproduksi.

Terlepas dari apakah keputusan belanjamu dipengaruhi oleh influencer atau tidak, selalu pastikan transaksimu sudah dipertimbangkan, sesuai yang kamu butuhkan, serta bukan hanya untuk mencapai simbol status tertentu. Bagaimanapun, konsumsi berlebihan adalah salah satu kontributor utama permasalahan lingkungan di keseharian, dan setiap pembelian yang kamu lakukan turut menentukan masa depan.