Life

Ating dan Hobinya Mengalihfungsikan dan Memperbaiki Barang

"Tidak ada ilmu khusus [untuk memperbaiki barang], semua itu berasal dari pemikiran apa yang kita bisa lakukan terhadap barang tersebut."

Written by
Vania Evan
Published
June 18, 2023

Belum lama ini, waktu saya sedang memilih baju untuk dipakai pergi, saya menemukan celana yang dulu sangat saya sukai tapi sudah tidak bisa dipakai lagi. Sudah kekecilan. Saya langsung berpikir dan membatin, coba saja kalau celana ini bisa diubah sedemikian rupa supaya bisa dipakai lagi. Selain karena ingin hemat, bentuk tubuh saya cukup membuat saya kesulitan untuk mencari baju yang cocok. 

Teringatlah saya dengan orangtua yang dulu sering pergi ke gang sebelah untuk menemui tukang levis dengan gerobak sepedanya. Tujuannya macam-macam. Memasang kancing yang lepas, merapikan jahitan baju,, sampai mengecilkan celana yang terlalu besar. 

Saya sudah tidak lagi melakukan hal tersebut. Begitu juga dengan teman-teman yang umurnya tidak jauh dari saya. Tukang vermak levis langganan keluarga saya juga tidak lagi menempati titik yang sama di gang sebelah. Apakah memang budaya memperbaiki barang dulu sebelum membeli baru hanya relevan bagi generasi seumuran orangtua saya?

Foremoss mencoba berbincang dengan Ating Lumanta, 63 tahun, yang masih sering mencoba mengotak-atik barang sendiri ketika ada yang rusak. Kira-kira apa yang melatarbelakangi kebiasaan beliau ini? Jangan-jangan, alasannya sesuatu yang kita, anak muda, masih rasakan. Kalau memang benar demikian, mengapa budaya memperbaiki baru membeli ini berhenti di generasi orangtua kita?

Yang diperbaiki dan dialihfungsikan 

Kiri - kanan: Kipas yang kembali berfungsi setelah kabelnya putus digigit tikus, kotak obat dari kertas bekas serta wadah dengan sekat untuk tempat menyimpan penjepit kertas buatan Ating

Sebagai pebisnis di bidang tekstil, kurang lebih lima belas tahun lalu, Ating diperkenalkan kepada jenis kain Tencel yang sering disebut-sebut sebagai salah satu jenis kain yang proses pembuatannya tidak terlalu memberatkan lingkungan. 

Waktu itu, konsep sustainability masih terbilang baru. Tapi ketika ia tahu bahwa ada jenis serat benang yang bisa diproses tanpa pencemaran dan bisa didaur ulang, ia pun tertarik. Dari sana, ia mulai menerapkan prinsip sustainability di kehidupan sehari-hari, tidak hanya dalam bisnis kain yang ia miliki. 

Sempat suatu waktu, Ating memperbaiki kipas angin yang kabelnya putus digigit tikus. Dengan bermodal mengulik mandiri dari YouTube dan membeli kabel baru, ia mencoba mengotak-atik kipas tersebut sampai kini berfungsi kembali. "Tidak ada ilmu khusus [untuk memperbaiki barang], semua itu berasal dari pemikiran apa yang kita bisa lakukan terhadap barang tersebut," kata laki-laki yang tinggal di Bandung ini.

Tidak hanya memperbaiki barang yang sudah rusak, Ating juga sering repurpose barang yang sudah tidak terpakai. Kertas dan karton dilipat-lipat sedemikian rupa untuk jadi rumah bagi barang-barang yang ukurannya kecil, seperti penjepit kertas atau tumpukan obat-obatan. Di halaman belakang rumahnya, Ating juga membangun gudang untuk stok kain jualannya dari bahan-bahan bekas, seperti alumunium bekas dari tokonya yang sempat dibongkar dan palet kayu bekas. 

Baca juga: Bev (@odetoless) dan Kebiasaan Memperbaiki Baju Sebagai Bentuk Tanggung Jawab

Mulai karena alasan lingkungan, karena hobi jadi bertahan

"Kalau barang bekas itu menjadi sampah, itu kan jadi beban lingkungan. Meskipun bukan kita yang bayar, tapi ya hidup kita tergantung pada lingkungan. Berdasarkan pemikiran itu, kenapa harus dijadikan sampah kalau masih bisa digunakan?" Itu alasan Ating masih memperbaiki dan mengalihfungsikan barang. Meski memang, ia mengakui prosesnya seringkali membutuhkan waktu yang lama. 

Memperbaiki memang seringkali tidak bisa mengembalikan kualitas barang sepenuhnya sama persis dengan kondisinya semula. Dari segi keseragaman, tentu berbeda. Belum lagi menghitung waktu yang diperlukan untuk tidak hanya kegiatan memperbaikinya itu sendiri, tapi waktu untuk menelusuri YouTube mencari video tutorial yang bisa dijadikan acuan. 

Hal yang membuatnya terus merawat kebiasaan memperpanjang umur barang-barang yang ia miliki adalah rasa bangga ketika ia bisa menyulap barang yang harusnya masuk ke tempat sampah menjadi sesuatu yang kembali berfungsi. Ia pun mengaku menikmati proses itu. "Masih sering kok, malas membetulkan barang. Makanya targetnya bukan harus hari ini, tapi kalau ada waktu. Sesempatnya ya, mengerjakan itu."

Ketika Foremoss menanyakan pendapat Ating mengenai keengganan generasi muda untuk mengadopsi kebiasaan beliau, ia merasa tidak terlalu ada kaitannya dengan umur. "Pada dasarnya setiap orang ada kecenderungan mau kalau dia hobi. Tapi di luar bidang itu mereka akan lebih memilih-milih. Kalau hobinya memang untuk berkreasi, gak usah dipilih, apapun yang di depan mata dikerjakan," katanya. 

Kalau kebiasaan memperbaiki menjadi sesuatu yang sebenarnya ingin kita bangun dalam kehidupan sehari-hari, berarti tugas kita adalah mencari alasan yang cukup kuat untuk membuat kita mau menghabiskan waktu untuk melakukannya. Baik itu alasan kepedulian terhadap lingkungan, atau untuk menantang diri sendiri sampai akhirnya menghadirkan kebanggaan. Apa pun itu alasanmu nanti, semoga kamu segera menemukannya.

Artikel ini didukung oleh WWF Singapura.