Life

Bev (@odetoless) dan Kebiasaan Memperbaiki Baju Sebagai Bentuk Tanggung Jawab

"Aku sayang sama baju yang udah aku beli, apalagi kalau vintage dan nggak gampang bisa dibeli lagi. Selama aku memperbaiki baju, aku merasa jadi lama-lama punya hubungan dengan barang yang aku sendiri pakai."

Written by
Vania Evan
Published
June 18, 2023

Pada waktu saya kecil dulu, saya sering sekali terbangun dari tidur karena suara jarum-jarum mesin jahit yang menyelinap masuk ke kamar tidur. Nenek saya seorang penjahit, dalam arti sebenar-benarnya. Ia hidup dan menghidupi anak-anaknya, termasuk mama saya, dari uang hasil menjahit. Saya masih ingat betul bagaimana baju-baju rumah saya didominasi oleh hasil jahitan nenek saya. Popo, itu panggilannya.

Dua dekade kemudian tidak lama sebelum saya menulis artikel ini, ada satu video yang tidak tahu dari mana asalnya, masuk ke linimasa Instagram saya. Di dalamnya, terdapat mesin jahit antik yang dulu ada di pojokan ruang tengah rumah saya, lengkap dengan tumpuan kaki yang mirip dengan pedal sepeda namun berukuran lebih besar yang perlu diinjak agar mesin jahitnya beroperasi. Dalam memori saya, selalu ada popo, karena hanya beliau yang bisa menjahit di keluarga saya. Ketika saya perhatikan baik-baik, video tersebut diunggah oleh akun Instagram dengan nama pengguna @odetoless.

Kalau popo saya menjahit untuk menyambung hidup, beda dengan Beverly, perempuan 29 tahun di balik akun Ode to Less. Titik awal Beverly mulai menjahit bermula dari ketertarikannya dengan sejarah. "Aku suka banget dengan sejarah, apalagi kehidupan di zaman Perang Dunia I dan II," kata Beverly waktu kami ngobrol-ngobrol lewat Zoom. "Salah satu cara kita belajar budaya orang lain biasanya 'kan dengan mengenakan pakaian mereka, cobain makanannya. Makanya aku pikir, cobain aja ah, betulin baju. Mencoba mengalami hidup seperti orang-orang zaman dahulu, itu yang awalnya bikin aku tertarik," lanjutnya. 

Ketertarikan tersebut ia terus pupuk hingga akhirnya menjadi hobi, dan hobi tersebut kini juga ia dokumentasikan dan unggah di Instagram dan TikTok-nya, hingga kini ia menjadi kreator konten penuh waktu yang banyak membuat video-video edukasi soal menjahit. Lebih spesifik lagi, soal memperbaiki baju dengan menjahit. 

Ada untungnya untuk lingkungan, tapi tidak selalu harus karena lingkungan

Memperbaiki barang, bukan hanya baju tapi apapun itu, sebenarnya masuk ke dalam 1 dari 10 prinsip ekonomi sirkular. Penyempurnaan dari prinsip 3R (reuse, reduce, recycle) ini menyertakan prinsip repair sebagai tambahan, bersama dengan prinsip lain seperti refuse, rethink, refurbish, remanufacture, repurpose, dan juga recover. Logikanya sederhana. Kalau kita memperbaiki barang dulu sebelum membuang suatu barang, umur barang tersebut akan lebih panjang. Ia akan masih punya daya guna, yang membuat kita punya alasan untuk menyimpannya. Sehingga kita tidak menyumbang lebih banyak sampah yang belum tentu bisa terolah, atau menambah tumpukan barang di rumah. 

Kebiasaan Beverly yang berusaha untuk memperbaiki barang dulu memang baik untuk lingkungan, tapi dari Beverly juga kita diingatkan bahwa pintu masuk kita untuk melakukan hal-hal yang baik bagi lingkungan bisa saja beragam. Kalau Beverly awal mulanya tertarik karena sejarah, bisa jadi pintu masukmu berbeda. Bisa jadi hubunganmu dengan suatu barang, atau untuk alasan penghematan. Lebih jauh lagi, apa yang baik bagi lingkungan ternyata juga punya manfaat lain yang bisa kita rasakan sendiri, selain untuk kebaikan alam itu sendiri. 

Menjahit untuk memperbaiki baju, menurut Beverly, juga tidak selalu mudah. Selain keterampilannya juga perlu waktu untuk dipelajari, ketika Beverly mulai lebih sering memperbaiki baju dengan bahan yang berbeda-beda, tantangannya pun beranak jadi lebih banyak. Beda bahan ternyata butuh teknik menjahit yang berbeda pula. Belum lagi mengakali bagaimana hasil reparasinya tidak terlalu mencolok. Juga bagaimana hasil baju setelah diperbaiki bisa mirip dengan kondisi awal baju waktu masih baru. 

Terlepas dari tantangan-tantangan tersebut, Beverly tetap melanjutkan hobinya menjahit, termasuk untuk memperbaiki baju. "Buatku benerin baju jadi sesuatu yang meditatif, jadi memang aku sendiri menikmati prosesnya. Jadi kalo ada baju yang rusak, aku nggak merasa memperbaikinya jadi sesuatu yang membebani," kata Beverly.

Memperbaiki bukan satu-satunya cara untuk #PanjanginUmur barang 

Dari sekian banyak jenis pakaian yang sudah diperbaiki Beverly, ia mengaku tidak pernah memperbaiki kaos kaki. Meski ia punya kemampuan untuk memperbaikinya, Beverly juga tetap mempertimbangkan beberapa hal sebelum memperbaiki.

Pertama, dari sisi kenyamanan. Kalau kaos kaki bolong di bagian telapak kaki dan kemudian dijahit, besar kemungkinan kaos kaki tersebut tidak lagi nyaman dipakai karena kaki kita akan bergesekan dengan jahitannya. Kalau tidak nyaman dipakai, besar kemungkinan kita juga akan lebih jarang memakainya. 

Kedua, dari sisi waktu, mengingat menjahit tidak sebentar. Juga dari sisi biaya. Apakah perlu membeli bahan dan alat baru untuk memperbaiki suatu barang? Apakah harga barang yang ingin diperbaiki tersebut sebanding dengan usaha-usaha untuk memperbaikinya?

Anggap kita ingin memperpanjang umur celana yang warnanya sudah pudar. Tujuannya supaya celana ini tetap dapat dipakai dan tidak perlu berakhir di tempat pembuangan. Tapi untuk memperbaikinya perlu dicat kembali, yang catnya pun perlu dibeli baru. Belum lagi ada resiko bahwa warnanya jadi tidak rata dan membuat celana tersebut ujung-ujungnya juga tidak jadi dipakai. 

Dapat disimpulkan, memperbaiki barang seharusnya dilihat bukan sebagai satu-satunya cara untuk memanjangkan umur barang, melainkan suatu cara untuk mencapai tujuan kita, baik itu untuk mengurangi sampah, untuk membuat suatu barang dapat kembali berfungsi karena kita sudah terlanjur sayang, atau yang lainnya. 

Mengutip Beverly, memperbaiki barang sebelum dibuang, buatnya merupakan bentuk tanggung jawabnya dalam mengurusi barang yang ia pilih untuk bawa masuk ke dalam rumahnya. Dengan ia memperbaiki bajunya, ia juga merasa jadi ada hubungan yang terbangun antara dirinya dengan barang-barang yang ia pakai.

Menuju akhir pembicaraan kami, Beverly melontarkan pertanyaan yang sampai sekarang belum kutemukan jawabannya. "Kadang kita udah capek-capek kerja keras, kumpulin uang untuk beli barang. Tapi sekali rusak dikit langsung dibuang, aku berasa jadi buang-buang uang. Lucunya, kita sering dibilang sebagai masyarakat yang materialistik. Tapi kalau kita memang materialistik, kenapa kita dikit-dikit buang barang?"

Artikel ini didukung oleh WWF Singapura.