Berawal dari keresahan limbah pribadi yang tidak diambil pemulung, sampai terbangun bisnis yang menyabet berbagai penghargaan.
Pernah melihat ibu-ibu pengrajin menjajakan tas yang terbuat dari sachet sabun cuci atau kopi bubuk? Proses mengubah sampah menjadi bentuk-bentuk baru yang bernilai lebih tinggi seperti ini, atau yang sering disebut upcycling, mulai naik daun. Terbukti dari brand-brand bergengsi dunia yang turut melihat dan menangkap peluang ini untuk menggaet pasar. Mulai dari Hermes yang membuat produk dari material yang tidak terpakai hingga Lamborghini yang membuat tote bag, pelindung ponsel, serta gantungan kunci dengan bahan kulit sisa produksi interior mobil.
Di Indonesia sendiri, sudah ada brand-brand yang khusus menjual barang hasil upcycling. Popsiklus salah satunya, dengan kreasi aksesoris fungsional seperti tas dan dompet dari limbah karton susu. Pada awal berdiri di tahun 2009, founder Popsiklus, Kurniati Rachel Sugihrehardja atau yang akrab dipanggil Nia membuat sampul buku dari limbah karton susu di bawah nama Bikinbikincraft. Meski seiring berjalannya waktu ada perubahan haluan, Popsiklus selalu meletakkan prinsip reimagining waste pada jantung desain produk-produknya.
Sebagai brand yang menggunakan limbah sebagai material utama kreasinya, Nia merasa memiliki tanggung jawab untuk mendesain dengan lebih berkesadaran. Selain mengolah limbah dan menaikkan nilai jualnya, Nia mengusahakan proses operasional Popsiklus juga minim menghasilkan sampah.
"Intinya dalam bikin produk, bidangnya disesuaikan dengan bahannya. Nggak bisa desain produk itu desain dulu barangnya, bahannya ngikutin. Bahannya harus cukup, karena begitu kita mendesain suatu bahan dan kita jadikan sesuatu, waste-nya jadi tanggung jawab kita," cerita Nia kepada Foremoss.
Pengembangan produk Popsiklus juga sering dipicu oleh kemunculan masalah. Ambil contoh Milk Carton Modular Bag yang terbuat dari tiga komponen berbeda, yaitu komponen utama, samping, dan kerangka yang bisa dicopot pasang. Alih-alih merespon tren atau mengikuti brand tertentu, desain ini lahir dari kebutuhan untuk menghemat ongkos kirim sewaktu mengirim tas ke Jepang dalam jumlah cukup banyak. Jasa ekspedisi selalu menghitung secara volumetrik, sehingga Nia pun kemudian mencari cara untuk mengakalinya.
Kebiasaan mendesain secara responsif ini kemudian diterjemahkan menjadi prinsip-prinsip lainnya dalam berbisnis, seperti rencana scale up. "Bisnis yang memanfaatkan limbah sebagai material utama nggak bisa punya rencana terlalu jauh. Kondisi waste itu di luar kontrol kita," kata Nia. Tidak jarang, karton susu yang sampai di studio Popsiklus memiliki kondisi yang tidak layak untuk diolah. Berjamur, misalnya.
Meski begitu, Nia terbuka dengan eksplorasi material selain karton susu untuk dijadikan produk bernilai jual. Ia melanjutkan, "Cita-citanya sih, Popsiklus akan berhenti kalau waste karton susu nggak ada lagi. Apakah ada waste lain? Itu yang nggak tau."
Ketika membeli barang yang terbuat dari limbah, tidak terkecuali Popsiklus tapi juga termasuk barang-barang lainnya, ada dua kemungkinan daya tarik bagi pembeli. Pertama, daya tarik atas bahannya yang membantu mengurangi masalah sampah di Indonesia. Kedua, daya tarik atas desain produknya itu sendiri.
Menurut Nia, ketika Popsiklus masih berupa Bikinbikincraft, mayoritas pembelinya tertarik karena alasan yang kedua. Ditambah lagi, desain buatan tangan juga punya daya pikatnya sendiri. Terutama jika barang yang dibeli diperuntukkan sebagai hadiah untuk orang lain. Keunikan barang dan cerita di baliknya dipercaya Nia dapat membuat kado menjadi lebih spesial.
Seiring berjalannya waktu, pasar Indonesia mulai terbuka dengan fakta bahwa sampah bisa menjadi barang yang punya nilai guna tanpa perlu menoleransi desain produknya. "Kalau dulu, [produk-produk hasil upcycling] tidak booming, pilihannya dikit. Karena sekarang booming, pilihannya jadi banyak. Dan nggak apa-apa juga sih, karena kan jadi lebih banyak yang diolah. Kalo ada semakin banyak orang yang ramai-ramai mikir kreasi dari sampah plastik, artinya sampah plastik yang diolah juga jadi lebih banyak, kan," kata Nia.
Melihat Popsiklus yang membuat produk dari limbah, muncul ekspektasi-ekspektasi dari konsumen agar seluruh proses pengiriman produknya minim sampah. Meski demikian, Nia tidak sepenuhnya mengikuti permintaan konsumen. Alasannya, ketika memikirkan material yang ramah lingkungan untuk pengiriman produk, seringkali keamanan produk jadi taruhannya. Seperti lakban kertas yang memang lebih mudah terurai dibanding lakban plastik, tapi juga lebih rentan basah dan robek.
Belum lagi kerjasama dengan perusahaan ekspedisi yang tentu sudah punya standar prosedurnya sendiri. Ketika ada konsumen yang meminta tidak mau dibungkus dengan plastik, ekspedisi seringnya menolak karena hanya mengikuti aturan. Mengutip dari pembicaraan dengan Nia, "Support system kita di sini tidak semuanya bergerak bersama-sama ke arah yang sama. Tapi kalau kita mau tunggu semuanya sempurna, kita gak akan maju-maju."