Fashion & Beauty

Fast Fashion: Katanya Hadir untuk Mendemokratisasi Industri, Kini Ladang Subur Eksploitasi

Dulu, fast fashion menjadi solusi agar fesyen dapat diakses oleh lebih banyak orang. Sekarang, fast fashion sumber petaka bagi lingkungan, kesejahteraan pekerja, bahkan industri kreatif.

Written by
Vania Evan
Published
June 18, 2023

Industri fashion berhasil menoreh "prestasi" sebagai salah satu industri pengotor bumi terbesar di dunia selain industri energi, transportasi, manufaktur, dan beberapa lainnya. Bicara soal sustainability di industri fashion tidak cuma soal pakaian yang tidak terpakai dan akhirnya terbuang di tempat pembuangan akhir, tapi juga dampak dari proses pengadaan satu helai pakaian ke lingkungan.

Menurut McKinsey dalam laporan The State of Fashion 2023: Holding onto growth as global clouds gather, sektor tekstil mewakili 6% dari total keluaran emisi dan 10-20% total penggunaan pestisida secara global. Proses produksinya yang juga mencakup proses pencucian, pelarutan, dan pewarnaan juga bertanggung jawab terhadap seperlima dari total pencemaran air yang dilakukan oleh industri. Belum lagi bicara yang tidak terlihat secara kasat mata, misalnya mikroplastik. Industri fashion menyumbang kontribusi mikroplastik yang cukup besar ke lautan, yaitu sekitar 20-35% secara global.

Ternodainya lingkungan dengan jejak-jejak bekas produksi industri fashion ini dapat terjadi semua karena praktik fast fashion, praktik yang memproduksi garmen dengan siklus yang cepat–atau tepatnya kelewat cepat. Bukan melulu soal siklus produksinya itu sendiri, fast fashion juga kemudian melahirkan pola pikir dan kebiasaan konsumsi sejak ia memonopoli pasar dan keberadaannya ada dimana-mana, terutama di pusat perbelanjaan yang jadi tempat hiburan utama bagi penduduk di kota-kota besar.

Dosa fast fashion tidak cuma termanifestasi pada kerusakan lingkungan, tapi juga eksploitasi pekerja, tumbuhnya budaya sekali pakai buang atau throwaway culture di masyarakat, juga melanggengkan tindakan meniru dan mereplikasi desain dalam proses kreatif.

Menimbang dampak negatif dari fast fashion, mari kita menengok ke belakang untuk mengetahui bagaimana sampai fast fashion ini lahir dan digandrungi oleh masyarakat luas. Apakah janji bahwa fast fashion dapat mendemokratisasi industri merupakan iming-iming kosong belaka?

How did we get here?

Industri fashion tidak eksploitatif dari sananya, setidaknya sampai fast fashion lahir. Industrialisasi di Inggris, jadi salah satu titik awal munculnya fast fashion menurut Linden (2016) dalam laporan berjudul An Analysis of the Fast Fashion Industry, sama seperti kecenderungan konsumsi berlebihan yang juga dimotori oleh industrialisasi yang bermula di Inggris.

Sebelum tahun 1800-an, fesyen bergerak dengan lambat. Pakaian dibuat dengan sistem made-by-order hampir di seluruh dunia. Di Paris yang merupakan pusat mode dunia, juga dikenal proses pengadaan pakaian serupa yang disebut haute couture yang dalam bahasa Perancis artinya high dressmaking. Hanya saja, pihak pembuat pakaian haute couture merupakan rumah-rumah desain ternama seperti Chanel atau Dior.

Pakaian dibuat berdasarkan permintaan klien, dan disesuaikan dengan bentuk tubuh dan preferensi pemakainya. Dengan sistem seperti ini, kecil kemungkinan bagi pakaian untuk menumpuk tak tersentuh di lemari mau itu karena ketidaksesuaian ukuran atau sesimpel karena bosan, alasan-alasan yang mendasari pola konsumsi pakaian kita hari ini.

Pada perang Amerika Serikat-Inggris pada tahun 1812, pemerintah AS mulai memproduksi seragam militer yang diproduksi secara massal yang tercatat jadi pakaian ready to wear pertama sepanjang sejarah. Pakaian-pakaian ini dibuat dalam satu ukuran untuk dimodifikasi masing-masing oleh para pemakainya. Setelah perang berakhir, konsep ready to wear ini terus berlanjut dan tidak hanya untuk pengadaan pakaian pria saja namun juga perempuan.

Kemudahan yang ditawarkan oleh pakaian ready to wear ini disambut baik oleh masyarakat dan lama-lama menjadi normal baru pada saat itu. Hingga pada tahun 1975, Amancio Ortega Gaona asal Spanyol mendirikan ZARA, pelopor praktik fast fashion di bawah naungan Inditex, perusahaan induk dari merk-merk yang banyak mengisi lemari pakaian kita seperti Pull and Bear, Bershka, Stradivarius, Masimo Dutti, dan beberapa lainnya.

Per November 2022, Amancio Ortega memiliki kekayaan bersih sebesar 62,9 miliar dollar atau setara 950 triliun rupiah. Awalnya seorang kurir di fashion house mewah ketika berusia 13 tahun, 70 tahun setelahnya pada tahun 2022, ia menjadi orang terkaya ketiga di Eropa dan ke-18 di seluruh dunia. Selain menggambarkan tingginya penerimaan masyarakat akan fast fashion, kesuksesan Amancio Ortega dengan praktik fast fashion yang mendisrupsi industri pada masa itu tidak terefleksi pada kesejahteraan para pekerjanya. Riset oleh Deloitte Access Economics for Oxfam Australia menemukan bahwa tangan-tangan yang membuat pakaian di Australia hanya dapat menikmati 2-4% dari harga satu pakaian yang terjual.

Inovasi, disrupsi, eksploitasi

Fast fashion memang memudahkan kalangan menengah untuk dapat mengakses fashion, tapi apa kabar dengan tenaga-tenaga yang bekerja di baliknya? Jangankan mengakses fashion, sekedar hidup dengan layak saja sudah sulit dengan jam kerja yang gila-gilaan dan lingkungan kerja yang membahayakan kesehatan.

Jika kita pikir-pikir lagi, klaim fast fashion yang mendemokratisasi industri tidak sesuai dengan harga yang dipatok cukup tinggi, dengan kualitas bahan tipis, warna mudah luntur, dan tampilan mudah belel. Ujung-ujungnya, fast fashion tetap hanya dapat dibeli oleh kalangan tertentu saja, tanpa kualitas yang sebanding, juga tanpa menyalurkan porsi uang yang pantas ke pihak yang paling berjasa dalam pembuatan produknya.

Pada akhirnya, pembeli pulang dari outlet-outlet besar nan mewah di pusat perbelanjaan dengan barang kualitas biasa saja dan kepuasan sementara, para pekerja yang mendedikasikan waktunya (bahkan hidupnya) masih tidak sejahtera, dan lingkungan harus menanggung akibatnya.

Dalam menanggapi dominasi fast fashion beserta semua konsekuensinya, lensa pandang kita perlu ditarik sedikit lebih jauh, bukan hanya menyoroti, menyinyiri, apalagi menghakimi transaksi sendiri atau orang-orang lain di gerai fast fashion.

Ada yang lebih perlu dikritisi yaitu kultur sekali pakai buang, fear of missing out, dan membiarkan penampilan mendefinisikan diri yang mengakari perilaku konsumsi kita yang sulit lepas dari fast fashion. Jangan berkecil hati jika memang fast fashion adalah satu-satunya opsi yang kamu miliki saat ini. Begitu pula sebaliknya, hindari berbangga diri dan mengecilkan orang lain yang belum rela atau mampu untuk membeli pakaian yang dibuat secara lambat yang harganya berkali-kali lipat. Aksi kadang tidak selalu mencerminkan intensi, tapi intensi yang baik pasti membuat tak sabar ingin segera beraksi.