Art & Culture

Five Days at Memorial: Bencana Alam dan Dilema Moral

Serial televisi yang mengajak kita sama-sama berefleksi: Sudahkah kita punya sistem mitigasi bencana, terutama yang disebabkan oleh perubahan iklim yang semakin mengkhawatirkan?

Written by
Vania Evan
Published
June 18, 2023

Saya masih ingat betul waktu pandemi COVID-19 baru masuk ke Indonesia pada awal 2020 lalu. Selain aturan normal baru yang membuat interaksi sosial jadi tabu, hal yang paling mencengangkan buat saya adalah bagaimana sebuah krisis dapat menyingkap karakter asli seseorang. 

Saya termasuk salah satu yang beruntung karena tidak harus kehilangan keluarga atau orang terdekat. Tapi menurut saya, bencana sesungguhnya dari bencana alam atau bencana kemanusiaan bukanlah saat bencana itu terjadi, melainkan dampak yang muncul akibat keputusan-keputusan yang diambil di masa-masa mencekam. Badai bisa berlalu, tapi rasa bersalah karena melakukan (atau tidak melakukan) sesuatu terkadang tidak bisa disembuhkan waktu. 

Gagasan ini yang ditangkap dan diangkat oleh seri Five Days at Memorial (2022), adaptasi dari buku berjudul sama karya jurnalis Amerika Serikat Sheri Fink yang berhasil menyabet penghargaan Pulitzer Prize. Melalui seri yang rilis di Apple TV+ ini, produser eksekutif Carlton Cuse (Locke & Key, Lost) dan John Ridley (12 Years a Slave) menyoroti keputusan yang harus diambil para pekerja medis seperti dokter Anna Pou (Vera Farmiga) dan incident commander Susan Mulderick (Cherry Jones) di Rumah Sakit Memorial, New Orleans ketika Badai Katrina melumpuhkan fasilitas rumah sakit.

Dalam delapan episode yang masing-masing berdurasi empat puluh menit hingga satu jam, Five Days at Memorial tidak hanya menggambarkan ngerinya saat Badai Katrina menerjang bagian tenggara Amerika Serikat pada 2005 silam tersebut. Serial ini juga menyoroti kekacauan saat proses evakuasi, hingga proses penyelidikan setelah badai reda serta dilema moral dan keputusan sulit perseorangan yang perlu diambil di tengah krisis. 

Saat bencana terjadi

Cerita dimulai dari Dr. Horace Baltz (Robert Pine), salah satu dokter di Memorial Medical Center yang sedang diwawancarai dalam rangka penyelidikan kematian 45 orang di Memorial dengan penyebab yang belum diketahui. Bagaimana bisa angka kematian di sebuah fasilitas kesehatan begitu tinggi hanya dalam waktu 5 hari?

Plot kemudian mundur pada saat Badai Katrina terjadi. Hujan mulai deras, orang-orang yang bukan pasien mulai berdatangan ke Memorial untuk berlindung, beberapa dokter yang bertugas membawa perbekalan mereka untuk tinggal di rumah sakit berhari-hari.

Selain menggambarkan kondisi di rumah sakit sebelum dan saat badai terjadi, Five Days at Memorial juga menyertakan klip-klip asli Badai Katrina yang kian menggambarkan betapa destruktifnya badai yang tergolong kategori 5 atau kategori yang paling destruktif tersebut. Genteng-genteng rumah terlepas, pohon-pohon tinggi tumbang, kaca jendela pecah.

Satu episode menggambarkan deretan kejadian dalam satu hari di New Orleans, setidaknya pada lima episode pertama. Dengan tensi yang dominan mencemaskan di awal, hujan dan badai tak lama berhenti, membuat penonton turut merasa lega bersamaan dengan para pekerja medis di Memorial serta LifeCare Hospital, rumah sakit yang bertempat di gedung yang sama dengan Memorial. "Setelah kami berhasil melewati Badai Katrina, kami berpikir kami bisa melewati apapun," kata Susan Mulderick. Namun seringkali dalam hidup, apa yang benar-benar terjadi berlawanan dengan apa yang kita pikir.

Kelegaan itu tidak berlangsung lama. Badai memang destruktif, namun ternyata dampaknya juga tak kalah mematikan. New Orleans mulai dikepung air lantaran tanggul yang tidak mampu lagi menahan air. Banjir inilah yang kemudian jadi sumber petaka-petaka lain bagi pekerja medis dan pasien di Memorial serta LifeCare. Listrik rumah sakit mati, begitu pula dengan generator cadangan. Persediaan makanan dan air mulai menipis padahal suhu di dalam rumah sakit semakin panas. Bayangkan, situasi ini tentu semakin parah dirasakan oleh pasien yang tidak bisa lepas dari alat-alat penunjang kesehatan.

Evakuasi terdengar sebagai satu-satunya solusi, meski praktiknya lebih kompleks dibanding yang dibayangkan. 

Tidak ada pihak yang berkoordinasi untuk mengirimkan bala bantuan, tidak Coast Guard, tidak juga Tenet Healthcare, perusahaan induk Memorial. Tempat landasan helikopter memang tersedia di atap gedung, namun satu-satunya akses menuju ke landasan tersebut hanyalah tangga yang panjang dan curam. Keraguan pun langsung menyergap. Apakah para pekerja medis mampu memindahkan pasien-pasien yang tidak cukup sehat untuk berjalan? Hal yang tak kalah penting: Apakah ada helikopter yang akan singgah dan mau membawa muatan dari Memorial dan LifeCare?

Berdasarkan keraguan tersebut, para pimpinan rumah sakit Memorial merasa perlu melakukan evakuasi secara lebih strategis. Termasuk, menentukan siapa yang layak diselamatkan.

Badai bisa berlalu, efek samping bencana terus berlanjut

Tiga episode terakhir menggeser fokus cerita dari badai itu sendiri ke beberapa waktu setelah badai berlalu. Tepatnya, ke penyelidikan Dokter Anna Pou yang dicurigai melakukan euthanasia atau menyuntik mati beberapa pasien, terutama mereka yang dianggap cukup sulit untuk dievakuasi.

Terlepas dari perdebatan etis soal euthanasia di dunia medis, Cuse dan Ridley berhasil menyoroti kompleksitas dari keputusan-keputusan yang lahir atas nama kelangsungan hidup. Berbagai karakter diberi ruang untuk menyampaikan bagaimana bencana yang telah menewaskan lebih dari 1.800 orang tersebut berdampak pada mereka. Mulai dari tiga dokter yang bertugas pada malam itu seperti Horace Baltz, Anna Pou, dan Bryant Kind (Cornelius Smith Jr.) juga incident commander Memorial Susan Mulderick dan incident commander LifeCare Diane Robichaux (Julie Anne Emery).

Selain menceritakan kekacauan di dalam rumah sakit, Mark LeBlanc (JD Evermore) yang sedang terpisah jarak dengan ibunya, salah satu pasien LifeCare, juga diceritakan dalam Five Days at Memorial ini. Meresponi ketiadaan uluran tangan dari pihak resmi, LeBlanc memutuskan untuk mendekati sumber bencana demi menyelamatkan ibunya sendiri. 

Para pembuat film dan juga Sheri Fink seakan sepakat–Five Days at Memorial bukan dibuat untuk menghakimi siapapun melainkan menggambarkan bagaimana bencana dapat memporakporandakan kemanusiaan lebih dari sekedar perhitungan angka kematian. 

Tidak hanya diajak menelusuri alasan di balik semua keputusan masing-masing karakter dalam serial ini, Five Days at Memorial juga mengkritik minimnya–atau kurangnya pembaharuan–pembekalan mitigasi bencana. Mengingat iklim terus berubah dengan percepatan di atas ambang wajar, tingkat risiko beberapa bencana alam naik signifikan. Apakah fasilitas-fasilitas publik di sekitar kita sudah punya mitigasi untuk bencana-bencana yang berhubungan dengan perubahan iklim?

Menanyakan apakah kita siap menghadapi cuaca yang tidak menentu beserta kemungkinan bencana alam yang menyertainya adalah pertanyaan retoris. Bukan hanya secara mental, namun juga secara infrastruktur, jaringan komunikasi, dan hal-hal lainnya. Satu pertanyaan yang juga retoris dan tidak kalah penting, bukankah pencegahan percepatan perubahan iklim juga perlu dilakukan bersamaan dengan usaha-usaha mitigasi bencana? Sudahkah kita melakukannya sesuai kapasitas kita?