Sampah popok sulit terurai karena terdiri dari berbagai jenis material serta mengandung zat berbahaya bagi lingkungan. Tiga ibu membagikan kisah sukses memakaikan popok kain pada anak mereka.
Melahirkan dan membesarkan anak, sama seperti semua aktivitas yang dilakukan manusia dalam hidup, punya konsekuensinya terhadap lingkungan. Beberapa meresponi fakta tersebut dengan memutuskan untuk tidak memiliki anak. Beberapa lainnya, mencari cara untuk menyiasati potensi emisi serta sampah yang mungkin muncul dalam proses membesarkan anak mereka.
Salah satu sampah yang cukup banyak dihasilkan ketika membesarkan anak adalah popok sekali pakai. Studi yang dilakukan peneliti Badan Riset dan Investasi Nasional (BRIN) Lies Indriati pada tahun 2021 memperkirakan potensi 3.488 ton sampah popok sekali pakai yang harus ditampung oleh Tempat Pembuangan Akhir tiap harinya. Alias, kurang lebih setara dengan 3.215 mobil Avanza!
Selain karena sifatnya yang sekali pakai buang, popok juga mengandung zat yang berbahaya bagi lingkungan, sampai-sampai dikategorikan sebagai limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3). Zat berbahaya yang dimaksud adalah Super Absorbent Polymer (SAP) yang akan berubah bentuk menjadi gel saat terkena air. Menurut Direktur LSM Ecological Observation and Wetlands Conservation (Ecoton) Prigi Arisandi kepada Tirto.id, SAP dapat menyebabkan perubahan hormon pada ikan.
Selain SAP, komponen popok bayi juga terdiri dari gabungan beberapa bahan dengan mayoritas berupa plastik. Ini membuat popok akan sangat sulit terurai. Jika dipindahtangankan ke pihak pengelola sampah pun, butuh perhatian khusus dalam mengolahnya.
Mengingat bahwa kebutuhan bayi akan popok tidak dapat disiasati, mulai ada alternatif untuk popok sekali pakai yang lebih ramah lingkungan, yaitu popok kain atau cloth diaper. Clodi, begitu orang-orang menyebutnya, sama seperti baju yang perlu dicuci ulang. Bedanya, clodi dibuat dengan bahan yang menyerap cairan karena memang diperuntukkan untuk menggantikan fungsi popok sekali pakai.
Foremoss berkesempatan untuk berbincang-bincang dengan tiga orang ibu yang telah memakaikan clodi pada anaknya. Apa yang membuat mereka mau beralih ke clodi dari popok sekali pakai? Apa saja tantangan yang dihadapi? Dan bagaimana mereka merespon tantangan-tantangan tersebut? Baca selengkapnya di bawah ini.
Kapan mulai pakai clodi?
Perjalanan berclodi kami baru dimulai saat anak kami, Hislal, berumur dua bulan. Hislal lahir di Taiwan, jadi otomatis hanya ada saya dan suami yang bisa mengurus Hislal. Kenapa baru mulai sejak umur dua bulan? Jawabannya karena sebelumnya kami perlu menyesuaikan dengan rutinitas baru dan budget terlebih dulu.
Apa yang mendorong mba Tira untuk mulai pakai clodi?
Pertama, karena masalah biaya. Waktu itu saya dan suami masih berstatus mahasiswa, sedangkan popok di Taiwan tergolong cukup mahal. Belum lagi, dalam sehari setidaknya Hislal butuh 5-6 popok.
Kedua, karena kami sedang berusaha untuk hidup berkesadaran. Mulai dari memilih slow fashion sampai membawa botol minum dan bekal ketika bepergian. Clodi juga menjadi pilihan kami untuk mengurangi sampah yang berasal dari keluarga kami.
Untungnya, keputusan memakai clodi untuk Hislal ini mendapat restu dari suami. Bagaimanapun, penggunaan clodi butuh komitmen dari seluruh anggota keluarga. Kalau sudah mengantongi restu, setidaknya waktu saya lagi repot, suami bisa bantu untuk mengurusi cucian.
Bagaimana pengalamannya selama ini menggunakan clodi?
Awalnya kami butuh 2-3 kotak diaper tapi sejak pakai clodi, penggunaannya bisa dipangkas jadi setengah kotak saja. Kami memang masih menggunakan diaper bersamaan dengan clodi. Alasannya ada beberapa.
Pertama, jumlah clodi kami pada waktu itu masih terbatas. Kedua, saya merasa tidak sanggup untuk bangun tiap dua jam sekali saat malam hari untuk mencuci clodi. Ketiga, di Taiwan kami mengandalkan motor untuk bepergian, sehingga kami perlu mengurangi jumlah barang yang dibawa ke luar rumah. Selain pada kasus-kasus di atas, ketika ingin memakaikan diaper alih-alih clodi, keputusannya benar-benar dipikirkan.
Seringkali ketika kita ingin memilih gaya hidup yang ramah lingkungan, ada trade off atau hal lain yang perlu ditoleransi sebagai gantinya. Apa ada trade off yang Anda rasakan?
Butuh modal yang cukup banyak di awal ketika kami baru membeli clodi. Tentu saja, jadi lebih ribet juga karena memang harus dicuci, tidak seperti diaper sekali pakai yang tinggal buang. Apalagi clodi kan terdiri dari bagian luar dan juga bagian dalam, jadi ada dua bagian yang harus dicuci, dan tidak bisa sembarangan juga mencucinya. Perlu dicuci dengan tangan dan menggunakan sabun khusus. Sejauh yang aku tau, cucian clodi ini memang jadi satu penghambat besar yang membuat ibu-ibu berpikir ulang ketika ingin menggunakan clodi.
Apa yang membuat Anda mau menoleransi trade off tersebut? Apa siasatnya?
Tidak bisa bohong, yang bikin semangat untuk berclodi karena penurunan bujet untuk popok jadi jauh berkurang. Meski di awal memang terasa sedikit berat karena harus membeli stok clodi. Tapi hal ini bisa disiasati dengan membeli clodi bekas yang masih layak pakai.
Selain soal biaya, penggunaan clodi membuat keluarga kami jadi disiplin untuk bangun lebih pagi lagi dan mengasah kerjasama antara suami dengan istri. Biasanya saat saya sedang sibuk ngurus cucian clodi, Hislal bisa main dengan ayahnya. Jadi ada bonding time sebelum ayah berangkat kuliah. Hal-hal seperti ini, menurut kami, sesuatu yang tidak bisa dinilai dengan uang.
Kapan mulai pakai clodi?
Sejak anak ku baru lahir, pada waktu itu tahun 2020.
Apa yang mendorong Anda untuk pakai clodi?
Tentu saja, karena bisa lebih hemat! Tidak perlu beli banyak diaper terus menerus karena clodi bisa dicuci dan dipakai ulang.
Bagaimana pengalaman memakai clodi selama ini?
Tidak bisa dipungkiri, ada naik dan turunnya. Masa-masa yang cukup sulit dilewati itu ketika kekurangan support system. Tapi alhamdulilah dapat terlewati dengan baik.
Seringkali ketika kita ingin memilih gaya hidup yang ramah lingkungan, ada trade off atau hal lain yang perlu ditoleransi sebagai gantinya. Apa ada trade off yang Anda rasakan?
Masih ada perasaan kalau memakai clodi lebih ribet dan melelahkan dibanding diaper sekali pakai. Kalau sudah mulai muncul perasaan-perasaan ini, aku mencoba mengingat-ingat kembali kalau sampah popok sekali pakai berpotensi untuk merusak lingkungan, terutama laut. Aku dan anak-anakku suka laut, jadi aku nggak mau kalau anak-anakku nanti sedang main ke laut, mereka sudah tidak bisa lihat keindahan di laut lagi.
Apa yang membuat Anda mau menoleransi trade off tersebut? Apa siasatnya?
Selain mencoba mengingatkan diri sendiri itu tadi, siasat untuk mengurangi perasaan ribet dan lelah dari memakai clodi adalah mengurangi ekspektasi. Kalau dulu aku mewajibkan diriku sendiri bahwa semua pekerjaan rumah harus sudah selesai sebelum urus anak dan semua harus rapi sebelum pulang kerja, aku mencoba mengesampingkan pikiran-pikiran itu.
Beberapa siasat lain yang bisa dilakukan adalah mencuci clodi ketika sambil mandi untuk menghemat waktu, agar memakaikan clodi pada anak kita tetap terasa ringan. Tidak terasa, akhirnya si kembar sudah lulus memakai clodi sejak satu tahun lalu.
Kapan mulai pakai clodi?
Awalnya waktu anakku umur lima bulan, tahun 2021. Sebenarnya aku udah tau dan tertarik pakai clodi sejak hamil, tapi ternyata waktu jadi ibu baru kan adaptasinya luar biasa ya. Jadinya stok clodi yang sudah disiapkan ya baru bisa dipakai waktu anakku berumur lima bulan itu tadi. Waktu itu posisinya juga aku masih kerja, jadi habis cuti dan harus kembali ke kantor itu sangat hectic jadi tidak terlalu percaya diri aja untuk pakai clodi.
Apa yang mendorong Anda untuk pakai clodi?
Sejujurnya aku tertarik untuk pakai clodi di awal-awal itu bukan karena aku tertarik dengan isu lingkungan. Tapi karena waktu hamil kan aku hitung-hitung ya biaya untuk anak sehari-hari itu berapa. Dan aku menemukan biaya popok selama dua tahun itu lumayan secara nominal. Akhirnya aku mencoba mencari alternatif untuk popok sekali pakai. Ketemu lah dengan si clodi ini. Eh ternyata setelah dipelajari dan dicari tahu nyatanya pakai clodi juga jadi lebih ramah lingkungan dan ada manfaat baiknya juga dari sisi kesehatan.
Bagaimana pengalamannya selama ini?
Aku merasa nggak ada yang terasa sulit banget atau gimana, itu nggak. Ketika udah menemukan ritme yang pas, yang sesuai dengan keseharian, perawatan clodi itu sama saja seperti kita merawat baju-baju kita yang kalau kotor itu perlu dicuci dan dijemur. Mungkin tantangan lainnya adalah aku dibantu sama ibu mertua untuk jagain anak di rumah. Jadi aku punya tantangan untuk mengomunikasikan dengan ibu mertua alasan kenapa kita perlu pakai clodi, gimana cara pakainya, dan nyiapin juga supaya ibu mertua lebih mudah mengganti clodinya kalau memang butuh.
Tantangan lainnya juga waktu baru mau mulai. Udah kebayang-kebayang duluan, nanti kayaknya susah ya, nanti kayaknya ribet, aku bisa nggak ya? Tapi setelah dijalani ternyata nyaman-nyaman aja.
Seringkali ketika kita ingin memilih gaya hidup yang ramah lingkungan, ada trade off-nya yang perlu dihadapi. Apa ada trade off yang Anda rasakan?
Dalam konteks clodi tentu saja nggak bisa nikmatin kepraktisan dari popok sekali pakai. Dan juga butuh usaha serta waktu lebih untuk perawatannya. Kalau pergi-pergi juga jadi lebih banyak bawaannya. Dan yang harus dihadapi itu adalah ketika ada omongan-omongan orang, karena nggak semua tau apa pentingnya pake clodi. Itu yang menurutku kita harus legowo, sih. Tapi itu semua menurutku pribadi sih worth it, cuma memang di awal tuh harus membekali diri dengan ilmu yang cukup supaya ketika ada tantangan-tantangan di tengah jalan itu tadi kita jadi nggak goyah.
Ini pentingnya punya support system yang mendukung pilihan kita. Bisa pasangan, bisa keluarga yang tinggal satu rumah, atau kalau memang dibutuhkan itu bergabung dengan komunitas yang memang isinya itu ibu-ibu pengguna clodi. Dengan adanya support system ini, rasa percaya diri kita untuk memakaikan clodi ke anak itu jadi lebih terbentuk.
Apa yang membuat Anda mau menoleransi trade off tersebut? Apa siasatnya?
Aku pikir ini perkara teknis yang semuanya akan bisa dilalui ketika kita dasarnya sudah kuat dan sudah punya support system yang solid. Aku sendiri waktu pakai clodi kan sambil bekerja di kantor, jadi memang berasa banget usahanya yang harus dikeluarkan. Siasat yang aku lakukan adalah aku mencuci clodi sambil mandi supaya bisa minta tolong orang rumah untuk tinggal bantu menjemur aja. Aku juga nggak cuci clodi setiap hari, jadi memang aku siapkan stok clodi yang cukup banyak pada waktu itu.