Apa konsekuensi dari kecanggihan AI bagi lingkungan? Dan mengapa petinggi perusahaan teknologi besar dunia diam saja?
Sejak ChatGPT dan Gemini rilis, kebiasaan saya untuk bertanya ke 'mbah Google' pelan-pelan bergeser jadi tanya ke mas dan mbak AI. Lebih cepat dan simpel. Tidak perlu lagi scrolling banyak-banyak dan baca dua tiga artikel untuk mendapatkan jawaban dari satu pertanyaan. Ada yang sama juga?
Tapi kebiasaan ini nampaknya tidak akan lama, terutama sejak membaca Sustainability Report tahun 2024 milik Google. Salah satu yang menangkap perhatian saya dari laporan delapan puluhan halaman tersebut adalah bagaimana kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) memengaruhi kenaikan emisi karbonnya.
Selama lima tahun, emisi karbon Google naik sebanyak 48%. Sedangkan hanya dalam rentang satu tahun terakhir atau pada tahun 2013, kenaikannya mencapai 13% dari tahun sebelumnya. Kenaikan ini disebabkan oleh konsumsi energi untuk pusat data serta emisi dari rantai pasok yang juga naik.
Salah satu yang menyebabkan kenaikan tersebut adalah berkembangnya teknologi kecerdasan buatan atau AI. Untuk AI dapat belajar dan beroperasi, dibutuhkan setidaknya beberapa hal seperti daya komputasi dan ruang penyimpanan data yang besar serta jaringan dengan latensi rendah agar minim delay. Dan tentu saja, agar pusat data yang demikian besar tersebut dapat beroperasi dibutuhkan energi yang tidak sedikit.
Demi beroperasinya pusat data tersebut, tentu dibutuhkan energi yang tidak sedikit. Dan tidak ada tanda-tanda bahwa angka tersebut akan dapat ditekan. International Energy Agency (IEA) memperkirakan bahwa konsumsi listrik yang dibutuhkan pusat data dapat meningkat dua kali lipat menjadi 1.000TWh pada 2026. Penggunaan AI yang semakin masif juga diprediksi akan mengambil porsi 4,5% dari energi global pada tahun 2030 menurut badan riset SemiAnalysis.
Selain berdampak pada emisi karbon, teknologi AI juga dikenal sebagai teknologi yang sangat 'haus' dengan suplai air. Lagi-lagi kaitannya dengan pusat data. Perusahaan-perusahaan teknologi besar menggunakan jutaan liter air untuk mengatur temperatur pada pusat data yang memotori kerja AI.
Jumlahnya tidak main-main. Dari laporan keberlanjutan (sustainability report) milik Microsoft tahun 2022 disebutkan bahwa pemakaian air mereka secara global meningkat lebih dari sepertiga dari tahun sebelumnya hingga mencapai 1,7 miliar galon air. Belum terbayang seberapa banyak jumlah tersebut? Kurang lebih dapat mengisi 2.500 kolam renang standar Olimpiade.
Penggunaan air Google tercatat lebih banyak lagi. Konsumsi air pada tahun 2022 mereka mencapai 5,6 miliar galon air yang merupakan kenaikan sebesar 21% dari tahun sebelumnya. Air sebanyak itu kurang lebih ekuivalen dengan 8.500 kolam renang ukuran olimpiade. Penggunaannya tidak hanya untuk pusat data, tapi juga untuk menyuplai kebutuhan air di kantor-kantor Google.
Mungkin kamu berpikir, lantas mengapa para petinggi perusahaan-perusahaan ini diam saja? Hal ini karena mereka pada percaya pada potensi AI untuk melakukan efisiensi energi di masa depan. Meski kekhawatiran akan tingginya energi yang dibutuhkan AI terus merebak, Bill Gates merasa hal ini akan terbayarkan di masa depan.
"Pusat data, pada kasus yang ekstrem, mungkin dapat meningkatkan kebutuhan energi hingga 6%, tapi kebanyakan hanya 2 - 2,5%. Pertanyaannya, apakah AI dapat mengakselerasi pengurangan energi lebih dari 6%? Jawabannya adalah: tentu saja," kata Bill Gates pada the Guardian.
Permasalahannya, dampak penggunaan AI bagi lingkungan tidak hanya dirasakan pada sektor energi, yang telah disebut di sub bab sebelumnya. Sehingga efisiensi energi yang diperkirakan dapat dilakukan AI di masa depan tidak akan dapat meniadakan akibat-akibat lainnya.
Selain itu, meski Bill Gates optimis bahwa AI dapat membantu efisiensi energi, orang terkaya kedelapan di dunia tahun 2024 ini pesimis bahwa dunia dapat mencapai target net-zero pada tahun 2050.
"Saya khawatir, secara umum, jumlah listrik hijau yang kita butuhkan untuk transisi menuju penggunaan energi yang bersih tidak muncul secepat yang kita butuhkan. Tambahan sepuluh atau lima belas tahun [dari 2050] mungkin lebih realistis," menurut Bill Gates.