Seruan untuk memboikot perusahaan yang tidak sesuai dengan nilai kita makin bising, tapi apakah boikot benar-benar efektif untuk mendorong isu yang kita percaya?
Belakangan ini, mulai muncul ajakan untuk memboikot perusahaan-perusahaan yang punya nilai yang tidak sesuai dengan nilai pribadi kita. Mulai dari perusahaan yang terafiliasi dengan Israel yang sedang menggempur Palestina, perusahaan-perusahaan yang mendukung atau menolak LBGTQ+, juga perusahaan-perusahaan yang terafiliasi dengan industri-industri penghasil emisi karbon besar dunia.
Boikot, merupakan salah satu gerakan sosial yang muncul pada tahun 2005 dengan tujuan untuk menekan Israel agar tidak lagi mengkolonisasi tanah Palestina. Gerakan sosial ini dikenal dengan Boycott, Divestment, and Sanction (BDS) atau boikot, divestasi, dan sanksi internasional. Di luar konteks Israel-Palestina, gerakan boikot sering dilakukan untuk menunjukkan kompas moral kita, pada sisi mana kita mau berpihak.
Dua kubu yang meresponi boikot
Ada dua kubu ketika kita membicarakan boikot. Kubu pertama, percaya bahwa boikot tidak ada gunanya. Kubu ini mempertimbangkan bahwa ada perusahaan-perusahaan yang melakukan monopoli di pasar, sehingga kita terkadang terpaksa harus menggunakan produk dan/atau jasa dari perusahaan-perusahaan tersebut karena tidak ada pilihan lain. Pergantian secara sistemik yang lebih diharapkan dan didorong oleh orang-orang yang sependapat dengan kubu ini.
Kubu yang kedua, merasa boikot itu perlu dilakukan. Alasannya mungkin beragam, tapi mereka percaya pada hukum ekonomi dasar bahwa penawaran (supply) akan mengikuti permintaan (demand). Dengan memboikot, permintaan pada produk dan/atau jasa mereka akan berkurang, dengan harapan mereka akan berbenah dan mengikuti arah gerak pasar.
Kalau kita bandingkan, keduanya punya pertimbangannya masing-masing yang rasional. Lantas, apakah kita perlu boikot untuk menyatakan keberpihakan kita? Sama seperti keputusan-keputusan lainnya dalam meresponi krisis iklim, pertanyaan ini perlu dikembalikan ke diri kita masing-masing.
Perlu ada di kubu manakah saya?
Tidak ada formula salah benar dalam menjawab pertanyaan tersebut. Tapi ada beberapa pertanyaan yang bisa kita tanyakan ke diri sendiri sebelum memboikot. Pertama, apakah gerakan boikot kita akan menghasilkan efek domino yang tidak diinginkan, seperti merugikan banyak orang lain?
Lalu apakah dengan kita memboikot suatu produk atau layanan malah akan menyusahkan kita sendiri karena belum ada produk atau layanan substitusinya? Dan yang juga tidak kalah penting, apakah keputusan kita–baik itu boikot atau tidak memboikot–membuat kita merasa damai sejahtera tanpa dihantui rasa bersalah?
Buat kami, dampak emosional atas keputusan yang kita lakukan terutama dalam konteks aktivisme serta mendorong hal baik itu penting untuk kita monitor. Jika bahan bakar keputusan-keputusan kita adalah rasa bersalah dan emosi-emosi yang tidak mengenakkan lainnya, perjalanan kita tidak akan panjang, dan kita tidak akan sampai ke tujuan awal mengapa kita ingin memboikot juga.