Di tengah maraknya brand-brand fashion yang lebih berkesadaran, cengkeraman fast fashion diteliti belum akan melemah.
Memasuki 2024, pergerakan industri fast fashion belum melambat juga meski kehadiran brand fesyen yang lebih berkelanjutan terus meningkat. Menurut The State of Fashion 2024, riset tahunan yang dikeluarkan oleh Business of Fashion dengan McKinsey and Company, kini fast fashion telah memasuki gelombang ketiga dengan hadirnya Shein dan Temu.
Pada 2022, perusahaan Shein yang berdiri sejak tahun 2008 telah bernilai seharga 100 miliar dolar AS, lebih tinggi dari nilai perusahaan H&M dan Zara yang digabung. Sedangkan kompetitornya, Temu, merupakan marketplace asal China yang sempat menjadi aplikasi marketplace yang paling banyak diunduh di dunia.
Generasi pertama fast fashion dimulai sebelum tahun 2000, ketika perusahaan seperti Zara dan H&M mulai membuat fesyen high-end versi lebih terjangkau. Generasi kedua, muncul pada tahun 2010 yang ditandai dengan kehadiran Boohoo dan Asos yang membawa fast fashion ke internet.
Dibanding para pendahulunya, Shein dan Temu menganggap kata 'cepat' dari fast fashion dengan tidak main-main. Secara rata-rata, Zara merilis 20 barang baru dalam satu hari. Boohoo hampir 50 barang. Sedangkan Shein? Lebih dari 860 barang baru, setiap harinya. Tapi mereka tidak berhenti sampai sana–State of Fashion mencatat bahwa Shein terus meningkatkan produksinya, hingga mereka merilis dua ribu sampai sepuluh ribu barang baru setiap harinya.
Baca juga: Fast Fashion, Katanya Hadir untuk Mendemokratisasi Industri, Kini Ladang Subur Eksploitasi
Kesuksesan fast fashion generasi ketiga ini sedikit banyak dibantu oleh teknologi. Desain produk-produk Shein berlandaskan oleh data. Mulai dari data-data tren terkini, model yang sedang viral, hingga persepsi konsumen. Begitu juga dengan Temu yang memanfaatkan umpan balik konsumen.
Generasi ketiga ini juga punya strategi yang serupa, yaitu memanfaatkan bentuk-bentuk pemasaran modern. Shein memanfaatkan skema affiliate marketing, yaitu program yang memberikan insentif bagi konsumen yang berhasil memasarkan produk Shein kepada orang lain. Dan Temu menginvestasikan jumlah yang banyak untuk beriklan di Facebook. Jumlahnya dua kali lipat lebih banyak dibanding iklan Shein di Amerika Serikat, dan empat kali lebih banyak dibanding Amazon.
Mereka bahkan sering menggunakan narasi sustainable dalam upaya pemasarannya. Salah satu kampanye Shein misalnya, mengajak sekelompok influencer untuk datang ke pusat inovasi Shein untuk membuat imaji bahwa Shein beroperasi secara etis.
Salah satu daya tarik Shein dan Temu adalah harga jual yang sangat rendah. Sebagai perbandingan, harga rata-rata produk Zara 34 dolar AS dan H&M 26 dolar, mengutip laporan Business of Fashion. Shein, memasang harga 14 dolar. Dan Temu, 40% lebih murah dibanding harga tersebut.
Harga yang kelewat murah ini pasti akan mengorbankan kualitas. Sehingga, umur baju-baju dari kedua brand ini akan lebih pendek, dan lebih cepat mengantarkan mereka ke tempat pembuangan.
Belum lagi, soal eksploitasi pekerja yang juga menjadi masalah utama industri fast fashion. Sudah banyak contoh ketidakadilan yang dialami para pekerja pabrik fast fashion, dan harga yang semakin dibanting ini pasti akan berimbas kepada upah yang diberikan bagi pekerja juga.
***
Selama harga masih menjadi pertimbangan utama bagi konsumen, akan terus ada cara-cara untuk menekan harga produksi demi dapat menjangkau berbagai kalangan. Kalau kamu sudah punya kebebasan untuk memilih, utamakan kualitas dan keberlanjutan dibanding harga. Yang pasti, di rak-rak outlet fast fashion tidak akan kamu temukan keberadaannya.