Fashion & Beauty

Seberapa Efektif Skema Kembalikan Kemasan Kosong untuk Mengurangi Tumpukan Sampah?

Belajar dari kasus Sociolla dengan program Waste Down Beauty Up-nya, kita perlu lebih skeptis terhadap skema kembalikan kemasan kosong.

Written by
Foremoss Team
Published
June 18, 2023

Pemandangan brand yang mempromosikan skema kembalikan kemasan kosong sudah tidak asing lagi bagi kita yang sering menyusuri pusat perbelanjaan. Beberapa brand fashion ternama pun juga menerima donasi pakaian bekas, seperti Uniqlo, Zara, dan H&M. Saya sendiri, paling rutin menyetor sampah produk personal care ke Sociolla melalui program Waste Down Beauty Up. Selain karena mudah dijangkau, Sociolla memberikan poin yang bisa dijadikan cashback untuk pembelian berikutnya untuk setiap kemasan yang disetor. Tapi kebiasaan ini sepertinya tidak akan berlanjut lagi.

Semua bermula dari postingan Dian Sonnerstedt, atau yang lebih dikenal dengan nama akun Instagramnya @mamaserbabisa pada awal April 2024. Dalam postingan tersebut, Dian menceritakan pengalamannya ketika hendak menyetor sampah kemasan produk kosmetiknya di Sociolla cabang Living World Denpasar. 

Ketika ia bertanya sampahnya akan dikemanakan, petugas Sociolla menjawab "dibuang di tempat sampah di loading dock."

Dian kemudian meminta konfirmasi dari pihak Sociolla langsung melalui DM Instagram. Perwakilan Sociolla membalas bahwa sampah-sampah tersebut memang akan dibawa ke loading dock sebagai satu-satunya akses keluar masuk barang dari toko yang berada di mall. 

Dari loading dock tersebut, "beauty empties dari Sociolla recycle station akan di-pick up, dikumpulkan dan akan diserahkan ke mitra pengepul sampah lokal yang kemudian akan mengelolanya lebih lanjut lagi." Tapi apakah benar demikian?

Minimnya transparansi

Masalahnya bukan terletak pada kelalaian pihak Sociolla dalam melakukan sosialisasi mendalam mengenai program dan inisiatif yang mereka punya ke karyawan-karyawannya. Kesimpulan ini terbentuk setelah menelusuri pihak pengelola sampah yang pernah bekerjasama dengan Sociolla.

Ketika program Waste Down Beauty Up dimulai pada Maret 2022, Sociolla bekerjasama dengan Waste4change yang sudah berdiri pada tahun 2014. Kerjasama tersebut berakhir pada Desember 2022, menurut keterangan dari perwakilan Sociolla ketika membalas pesan Dian di Instagram. 

Masih dalam pesan yang sama, Sociolla menjawab pada April hingga Desember 2024, mereka bekerjasama dengan pihak pengelola sampah yang berbeda yaitu PasteLab yang berasal dari Yogyakarta. Pada tahun 2024, belum ada pihak pengelola sampah lain yang digandeng Sociolla untuk menggantikan PasteLab. 

"Saat ini, kami sedang dalam proses review operasional dan mencari mitra lokal lainnya yang dapat membantu proses pengelolaan sampah dengan lebih baik lagi," begitu keterangan Sociolla yang diunggah Dian.

Artinya, program Waste Down Beauty Up masih tetap berjalan meski Sociolla belum menemukan pihak ketiga yang akan menindaklanjuti sampah-sampah tersebut. Apakah sampah yang diterima selama periode itu dikumpulkan terlebih dahulu untuk kemudian diberikan ke pihak pengelola sampah baru? Tidak ada yang tau jawabannya. 

Baru setelah kasus ini viral di media sosial, Sociolla diberitakan menutup dropbox di beberapa tokonya. Mengutip Chief Marketing Officer (CMO) Sociolla Chrisanti Indiana kepada Kompas.com, alasannya karena "tingginya lonjakan angka beauty empties tersebut selama dua tahun." Artikel yang memuat pernyataan ini terbit pada 17 April 2024, beberapa minggu setelah Dian mengunggah pengalamannya di media sosial. 

Selain tidak transparan dalam memberikan informasi mengenai tempat berakhirnya sampah yang disumbang oleh para konsumennya, Sociolla juga tidak mengeluarkan pernyataan resmi apa pun meresponi kejanggalan ini. 

Kalau lewat satu perkara ini saja Sociolla tidak berhasil menunjukkan bahwa mereka menghormati konsumennya, apakah kita masih bisa mempercayai program-program lain yang mereka keluarkan?

Lebih lanjut tentang skema kembalikan kemasan kosong (take-back scheme) 

Skema kembalikan kemasan kosong atau take back scheme menurut perusahaan konsultansi sustainability asal Inggris Anthesis merupakan inisiatif yang diorganisir atau dibiayai oleh sektor privat untuk mengoleksi dan menindaklanjuti kemasan produk konsumen pada masa akhir hidupnya.

Dalam Packaging and Converting Innovation Forum tahun 2023 di Berlin, Anthesis menyebut bahwa take back scheme seharusnya bukan jadi opsi utama, mengingat operasionalnya yang kompleks, mahal, dan memiliki nilai tangkapan yang rendah. 

Seperti prinsip lebih baik mencegah daripada mengobati, begitu juga lebih baik berusaha mengurangi sampah dahulu baru mendaur ulang, take back scheme yang diinisiasi perusahaan tidak akan terlalu efektif jika tidak dibarengi dengan usaha-usaha yang mencegah sampah tersebut dihasilkan.

Skema kembalikan kemasan (take-back scheme) seharusnya bukan jadi opsi utama

Selain kompleks, mahal, dan tidak terlalu efektif, tidak semua perusahaan yang menerima kemasan kosong atau produk bekas pakai benar-benar bertanggungjawab akan barang-barang yang mereka terima. 

Sebuah investasi yang dilakukan Changing Markets Foundation menguak bahwa 3 dari 4 garmen yang diterima oleh brand-brand besar seperti H&M, C&A, dan Primark tidak didaur ulang seperti yang mereka janjikan. Barang-barang tersebut dihancurkan, hilang, atau dikirim ke Afrika yang justru menambah jejak karbon alih-alih menguranginya.

Changing Market Foundations bersama Zero Waste France dan Zero Waste Alliance Ukraine sempat mengikuti perjalanan baju-baju yang disetor ke perusahaan ritel besar seperti Zara, Nike, New Look, Uniqlo, Primark, dan The North Face. Dengan menggunakan AirTag, lokasi masing-masing sampel pakaian dicatat setiap hari selama 12 bulan. 

Hasilnya, sebuah rok hijau yang dikembalikan ke too di H&M di London pada 2022 malah menempuh perjalanan 24,8 kilometer untuk kemudian dibuang di tanah kosong di Mali, Afrika Barat, lima bulan kemudian.

Jaket puffer biru dongker yang dioper ke toko Zara di Britania Raya juga malah terkirim ke Lithuania yang berjaka 2.224 kilometer dan sejak itu hanya terjebak di dalam sebuah gudang. Bahkan, beberapa jenis pakaian malah dijual kembali di Budapest, Hungaria.

Kita layak diperlakukan dengan lebih baik 

Kesempurnaan memang tidak nyata, termasuk dan terutama dalam usaha mengurangi dampak buruk dari aktivitas manusia bagi lingkungan. Seringkali ada hal-hal yang perlu ditoleransi atau bahkan dikorbankan daripada tidak sama sekali. 

Dalam konteks take-back scheme dalam industri fashion misalnya, mungkin ada cara-cara lain yang dapat kita lakukan alih-alih mendonasikan pakaian bekas kembali ke perusahaan ritel tempat kita membeli baju tersebut. Kita bisa memberikannya ke sanak saudara atau tempat yang menerima donasi lainnya.

Namun dalam industri beauty, kemasan kosong produk tidak dapat diwariskan ke generasi berikutnya. Beberapa mungkin dapat dialihfungsikan ulang. Misalnya, kaleng pelembab yang bisa dijadikan tempat kapas dan kotak perhiasan. Tapi seiring kita bertambah usia, semakin banyak produk yang kita pakai, tentu kita tidak butuh tempat kapas dan kotak perhiasan itu. 

Sehingga, seringkali take-back scheme jadi opsi yang terdengar membantu. Namun dari kasus Sociolla kita perlu belajar untuk lebih teliti dalam meletakkan kepercayaan kita pada janji-janji yang diutarakan perusahaan-perusahaan.

Bukan hanya kali ini, kita sudah berkali-kali tidak diberikan informasi yang utuh oleh perusahaan yang mendapat keuntungan dari kita sebagai konsumennya. Entah apakah karena kita dianggap tidak akan pernah punya kapasitas untuk mengetahui hal yang sebenarnya, atau ada alasan lain di baliknya. Apa pun itu, kita layak diperlakukan dengan lebih baik. Kita layak mendapat informasi yang sebenar-benarnya dan tidak setengah-setengah dari produk, layanan, atau inisiatif yang ditawarkan pada kita. Apakah di hari-hari ini, kepercayaan sudah semahal itu harganya?