Keluar dari format film hiu pada umumnya, Under Paris turut menyuguhkan kompleksitas tantangan manusia modern hari ini ketika berhadapan dengan krisis iklim.
Sudah cukup banyak film hiu yang beredar di bioskop dan layanan streaming. Sebut saja Jaws (1975), The Meg (2018), hingga animasi Shark Tale (2004). Meski sama-sama film hiu, Under Paris (2024) tidak hanya mengandalkan aksi hiu menerkam manusia. Under Paris juga merupakan satire yang menggigit mengenai aktivisme lingkungan, pemerintah yang abai terhadap keselamatan warganya, hingga area-area tak terduga yang turut berubah karena perubahan iklim.
Premisnya sederhana. Ilmuwan dan aktivis percaya bahwa ada seekor hiu berkeliaran di sungai Seine. Berenang di sungai Seine memang terhitung ilegal sudah lebih dari seratus tahun, sehingga mudah untuk kita berasumsi bahwa tidak akan ada korban jiwa selama hiu belum bisa berjalan di daratan. Masalahnya, sudah ada olimpiade di depan mata, yang turut melombakan cabang olahraga triathlon yang merupakan gabungan antara berenang, lari, dan bersepeda. Bagian berenang yang perlu dilakukan atlet-atlet dari seluruh dunia akan bertempat di Seine yang membuat taruhannya semakin tinggi.
Film dibuka dengan sekelompok ilmuwan yang sedang menyelam untuk mengambil sampel darah hiu mako. Berbekal pengetahuan dan pelatihan yang mumpuni, mereka tidak takut mendekati hewan predator puncak tersebut. Lilith. Begitu mereka memanggil ikan hiu mako yang tumbuh lebih cepat dari yang dibayangkan. Dalam sepuluh menit pertama, empat ilmuwan tersebut meninggal dilahap Lilith, termasuk suami Sophia (Bérénice Bejo), satu-satunya yang masih bertahan hidup. Adegan pembuka ini sedikit banyak memperlihatkan keseluruhan film yang akan diwarnai dengan pertumpahan darah.
Tiga tahun kemudian, Sophia berkenalan dengan salah satu aktivis lingkungan muda yang percaya bahwa Lilith telah bermigrasi ke Seine. Hal ini terbilang mustahil mengingat Seine merupakan tubuh air tawar yang membuatnya tidak ideal bagi makhluk laut. Bukankah Seine juga diatur oleh sistem penguncian yang rumit? Semua skenario yang membuat Under Paris sulit untuk dipercaya, terjawab dalam plotnya.
Laut dalam semesta fiksi Under Paris yang punya banyak paralel dengan realita kita sudah terkontaminasi dengan polusi, yang membuat Lilith mencari tempat yang lebih bisa ditinggali. Gambaran ini juga digambarkan secara visual lewat adegan awal penuh darah yang sempat diceritakan di atas. Lilith bermukim di bawah Great Pacific Garbage Patch di Samudera Pasifik, sebuah kumpulan genangan sampah dari seluruh dunia yang membentang sepanjang Jepang hingga ke Hawaii dan California. Luasnya, 1,6 juta kilometer persegi alias 1,8 juta kali luas Kebun Raya Bogor!
Perubahan pada lingkungan akibat krisis iklim yang ditampilkan Under Paris tidak sebatas pada yang kasat mata. Selain kontaminasi sampah serta perubahan suhu air sebagai penggerak plot yang membuat Lilith berenang di bawah Paris, perubahan iklim memicu evolusi spesies yang belum terpetakan sebelumnya. Sophia akhirnya menemukan bahwa Lilith bukan hiu Mako biasa, melainkan spesies hasil mutasi yang bisa berkembang biak tanpa dibuahi oleh hiu jantan.
Selain mengganggu keseimbangan ekosistem dan rantai makanan, kehadiran spesies yang demikian dapat menimbulkan tantangan baru di dunia nyata. Terutama jika belum banyak penelitian mengenai hal ini. Ketidakpahaman akan suatu spesies yang hidup berdampingan dengan kita manusia akan membuat kita kesulitan merespon ketika ada kesempatan bersinggungan dengan mereka, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Under Paris punya persamaan dengan film-film hiu lainnya. Ia dapat memunculkan rasa tidak nyaman bagi penontonnya. Tapi rasa tidak nyaman tersebut bukan hanya dipicu karena penggambaran hiu yang dibuat bengis atau adegan penerkaman secara grafis, sebuah formula yang umum kita temukan di film hiu. Ini perbedaan Under Paris dengan teman-teman sejawatnya.
Pertama, Under Paris mampu memboyong realita dunia kita yang dihantui ancaman perubahan iklim ke dalam layar yang sudah dijabarkan di sub bab sebelumnya. Kedua, Under Paris mengandung sindiran halus pada pemangku jabatan yang hanya peduli pada citra alih-alih ancaman nyata.
Ketika Sophia menyampaikan pada mayor Perancis mengenai posisi Lilith yang mengancam atlet-atlet yang akan bertanding pada olimpiade, kekhawatiran tersebut ditepis dengan upaya seadanya. Alasannya, apa lagi, kalau bukan biaya yang sudah banyak dikeluarkan untuk mengadakan olimpiade, serta reputasi mereka kalau acara besar tersebut harus dibatalkan.
Penonton yang tidak duduk di bangku pemerintahan pun tetap dibuat tidak nyaman mengetahui mentalitas orang-orang yang diberi tanggung jawab untuk mengupayakan keselamatan kita.
Ketiga, Under Paris juga menyentil sekelompok aktivis yang menutup mata pada fakta bahwa upaya menjaga lingkungan perlu diselaraskan dengan dampaknya bagi manusia. Bukan karena masalah siapa yang lebih penting, tapi bukankah lebih baik meminimalisir jumlah makhluk yang perlu menjadi korban?
Kepunahan suatu spesies, seperti yang ditakutkan kelompok aktivis dalam film Under Paris memang akan mempengaruhi manusia secara tidak langsung di masa depan. Tapi urgensi dan konteks tentu juga perlu dipertimbangkan, seperti apa bahaya yang mengintai lebih dekat. Aktivisme lingkungan harusnya paham mengenai interseksionalitas. Barangkali kita sering mengedepankan kebaikan bagi lingkungan tanpa mempertimbangkan aspek-aspek lain, Under Paris bisa jadi pengingat yang baik meski perlu disampaikan dengan banyak darah. Atau jangan-jangan, kita butuh dibuat sangat tidak nyaman baru mau terbuka akan pengetahuan baru?